Sudah lama saya meyakini bahwa komedian Raditya Dika adalah filosof modern era ini.
Menukil makna filosof dari Cak Dhofir, penulis buku Filsafat untuk Pemalas, Ia mengatakan bahwa siapapun yang berpikir, lebih-lebih menelurkan hasil pikir, Ia adalah seorang filosof.
Raditya Dika memiliki banyak buah pikir, diantaranya sangat genuin. Selain itu Ia sering kali tidak sekedar ikut-ikut tren tetapi mendayagunakan akal pikirannya untuk memproduksi sesuatu, sehingga hasilnya menjadi sangat berbeda dari manusia pada umumnya dan membuat pasar serta tren sendiri.
Satu hal yang akan membuat Radit sulit dikatakan sebagai filosof adalah karena karyanya. Kalau kita kaku mengartikan filosof adalah orang yang punya karya berat dan serius, saya yakin Radit sudah gagal di tahap administrasi. Hal ini karena buku, komedi berdiri (baca. stand up comedy), dan siniar (baca. podcast) milik Radit dikemas dalam balutan komedi. Apalagi buku-bukunya terasa lebih cocok masuk dalam rak buku peternakan daripada buku filsafat. Ia memang tidak memproduksi buku novel filsafat macam Voltaire atau Jostein Gaarder.
Tapi, kalau kita mau membuat kategori baru, bahwa filosof juga bisa disampaikan dengan bercanda, lebih-lebih ada kategori filosof yang buah pikirnya dituliskan oleh domba-dombanya, saya yakin pasti Radit akan lolos fit and proper test menjadi filosof modern Indonesia.
Dan kalau definisi itu disetujui, melalui tulisan ini, biarkan saya yang akan menuliskan dua dari banyak buah pikir Radit yang saya kira penting untuk bisa diketahui lebih banyak orang.
Musik: ia primer, bukan sekunder, apalagi tersier
Radit sering memiliki pemikiran dan cara hidup yang unik, aneh, nyeleneh, dan berbeda dari orang lain pada umumnya. Mulai dari kesukaan dia memakai sandal crocs sampai memakai jas saat main game. Pola pikir yang berbeda juga terlihat dalam sebuah sesi siniar bersama Yono Bakri di saluran YouTube pribadinya.
Radit mengatakan bahwa:
Ia mendengar musik ya karena ingin mendengar musik,
artinya ia mendengar musik sebagai sebuah kegiatan primer, bukan sebagai pengiring suatu kegiatan, sebagai benda sekunder apalagi tersier.
Musik tidak diperuntukkan untuk mempersiapkan hari, menemani nyetir, atau menyesuaikan dengan kadar dopamin dalam tubuh.
Dengan cara memperlakukan musik sebagai benda primer seperti itu, ia bisa mendengar dengan lebih dalam.
Disaat banyak orang memperlakukan musik sebagai sesuatu yang bersifat tersier, misalnya digunakan untuk iring-iringan cafe yang diputar dengan pelan. Atau sebagai teman merasakan beratnya hidup. Radit memperlakukan musik seperti pemeran utama yang perlu diperhatikan khusus.
Kebiasaan ini akhirnya membuat ia dapat mendengar lebih dalam dari apa yang orang awam dengar. Radit berpendapat bahwa ketika ada musisi kok tidak cukup terkenal padahal karyanya bagus, pasti ada sesuatu yang terlewat didengar oleh awam.
Ia mencari hal yang terlewat itu dan mengapresiasinya. Dan yang pasti ini bukan gimmick sok edgy yang seolah musik favoritnya adalah yang paling indie. Apa itu dewa 19, armada, dan bernadya? semua mainstream!
Hal ini sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang kadang niat mendengarkan musiknya adalah untuk mencari eksistensi, an sich. Misal mendengarkan band indie dari Thailand, karena ia ingin disebut memiliki selera musik yang unik, sehingga ia tidak cocok dengan musik mainstream negara sendiri.
Orang modelan kaya begini yang biasanya akan berkomentar “wah, sudah semakin banyak orang yang tahu band andalanku, dah mulai gak asik”.
Dengan menggunakan kacamata 7 habitsnya Steven Covey, pada umumnya orang melakukan sesuatu karena dorongan dari luar. Mulai dari ia ingin sok edgy, itu dorongannya adalah society, dia mulai meninggalkan musik indie kesukaannya karena mulai terkenal, juga dorongan dari society. Artinya, apa yang ia lakukan bukan dimulai dari dalam dirinya melainkan dari luar. Hal seperti ini akan memiliki efek buruk yang fatal: hidup tidak efisien dan reaktif.
Kontras dengan itu, Radit sering kali menunjukan perangai melakukan yang memang ia suka saja. Sehingga laku aneh yang ia lakukan sejatinya untuk mengejar kenyamanan dalam diri, bukan sekedar diakui dan dianggap berbeda oleh kawanan.
Teori 20%
Satu buah pikir lain yang pernah disampaikan Radit adalah teori 20%. Konon ini adalah teori yang umum di dunia ekonomi. Teorinya berbunyi kurang lebih begini:
jika kita memiliki satu buku daftar menu, hanya ada 20% menu yang akan menyumbang pemasukan paling banyak.
Teori ini disampaikan Radit di sesi siniar yang dipandu Indra Jegel dan Ate di saluran YouTube Tema Indonesia.
Layaknya filosof yang cakap melakukan asosiasi dan adaptasi. Teori itu ia keluarkan ketika ditanya tentang “Bang, kenapa kok lucu terus?”.
Jadi, teori yang ia kemukakan itu dikontekskan dengan laku dia dalam membuat materi komedi berdiri.
“Kalau kita membuat satu materi komedi berdiri, artinya itu satu buku menu full, paling hanya ada 20% yang lucu banget. Nah yang lucu banget itu diambil. Lalu kita buat buku menu baru lagi, dan kita akan nemu 20% lagi yang lucu lagi. Nah kumpulan 20% itu yang akhirnya dipadukan untuk menjadi materi utuh penampilan spesial komedi berdiri. Meskipun memang resikonya adalah kita harus membuat banyak sekali buku menu”
***
Selain dua hal baik ini, Radit juga pernah bercerita tentang ide itu tidak dibuat tapi di-capture/ditangkap. Nah ini kapan-kapan saja akan saya bahas sebagai domba-dombanya radit. Akhirnya, kalau tulisan ini bagus, berarti ini masuk 20% dari total tulisan saya. hehe.