Nobel untuk Orang Indonesia

Saya kira ketika ada orang Indonesia dapat nobel, kita semua pasti bangga. Laiknya kebanggaan kita misal mendengar kabar ada orang Indonesia yang mendapat penghargaan Grammy, Oscar, atau menjadi peserta Piala Dunia. 

Sayangnya yang terakhir kita harus bersabar minimal sampai 2030 mendatang. 

Nobel sebagai salah satu penghargaan paling prestisius di dunia telah rutin digelar sejak awal 1900-an, diberikan pada orang yang perannya sangat signifikan di dunia. Bahkan bisa dibilang berperan pada kemanusiaan dan perkembangan peradaban manusia.

Pekan lalu (6/10), pemenang nobel 2025 sudah mulai diumumkan, dan penting untuk membangun ekosistem kita agar bisa mewujudkan “Orang Indonesia dapat Nobel”, tidak hanya sekedar naturalisasi tapi tidak memperbaiki ekosistem dalam negeri. Kita bisa belajar dari kisah para pemenang nobel.

Tidak Bermanfaat

Susumu Kitagawa, pemenang nobel kimia memiliki kisah yang amat menarik. 

Kitagawa membagikan kisah awal mula ia mengembangkan material jaringan organik-anorganik atau MOF (metal-organic framework). 

Ia memulai riset pada 1992, merespon hasil gemilang dari Richard Robson pada tahun 1989. Kitagawa melakukan riset bertahun-tahun untuk ilmu, ia tidak tahu MOF akan digunakan untuk apa di masa depan. Dan karena hanya melakukan riset tanpa bisa menunjukan manfaat, ia berkali-kali ditolak saat mengajukan pendanaan.

Terlebih MOF buatan Kitagawa juga selalu dibandingkan dengan zeolit, sebuah material yang sama-sama berpori tetapi sudah jelas bisa dimanfaatkan dan jumlahnya melimpah. 

Untungnya Kitagawa tidak memilih menyerah seperti kerasukan Bernadya. Ia tetap fokus mengembangkan MOF yang stabil dan tetap tidak tahu akan dimanfaatkan untuk apa.

Kisah ini benar-benar mirip dengan apa yang peneliti Indonesia alami saat ini. Mereka dipaksa mengeluarkan manfaat praktis untuk setiap proposal yang diajukan pendanaan, meskipun levelnya baru penelitian dasar. Seakan tidak ada ruang untuk penelitian yang hanya berbasis ingin menguji tesis yang sudah establish.

Dalam proposal penelitian yang diajukan, peneliti diharuskan menuliskan manfaat, tujuan, dan juga peta jalan penelitian. Kalau tidak, ya babay dari meja kurasi reviewer.

Kita perlu akui bahwa kondisi ini memang tidak ideal dalam proses produksi pengetahuan dasar. Peneliti-peneliti dari rumpun ilmu dasar laiknya matematika, fisika, kimia, dan biologi akhirnya melonggarkan ikat pinggang dan beralih melakukan penelitian dan mengembangkan bahan yang sudah jelas ada manfaatnya.

Tidak terjadi ruang bebas seperti yang dialami Omar M. Yaghi, pemenang nobel kimia 2025 juga, yang mana di awal perjalanan risetnya ia hanya tertarik menyelesaikan masalah intelektual dan tidak berniat memecahkan masalah polutan di air.

Novelty

Selain menuliskan tujuan dan manfaat pada setiap latar belakang proposal pendanaan penelitian, peneliti juga perlu menyampaikan novelty atau keterbaruan dari riset yang akan dikerjakan. 

Isu redaksi novelty harus muncul di proposal sepertinya menjadi gejala global, untungnya kita tidak sendiri. Karena ada sentilan keras dari Morten Meldal, peraih nobel kimia 2022.
Meldal dengan jelas menyampaikan bahwa “keterbaruan datang dari observasi fenomena aneh yang tidak sesuai dengan konsep yang ada di kepala kita sebagai ilmuwan”. Novelty tidak datang dari sesuatu yang direncanakan. 

Sungguh sangat kontradiktif dengan novelty yang kita pahami saat ini. Di mana, novelty didefinisikan sebagai hal yang membuat penelitian kita berbeda dari yang lain, dan oleh karenanya penelitian dianggap baru, dan akhirnya bisa direncanakan. 

Hasilnya, penelitian yang diproduksi hanya akan menghasilkan gap kecil dan umumnya hanya mengubah beberapa ragam variasi, sampel, dan tujuan aplikasi. 

Penelitian yang noveltynya direncakanan tidak akan menyentuh perubahan yang fundamental. Karena novelty yang dipaksakan hanya akan membuat kualitas riset berbeda sedikit di area tampilan permukaannya saja.

Sitasi

Selain proposal yang harus jelas manfaat praktis dan noveltynya. Peneliti kita juga disibukkan dan dituntut untuk memproduksi banyak artikel dengan total sitasi di profil google scholar yang ramai. 

Dan lagi-lagi, kita dibuat cegek oleh salah satu peraih nobel 2025 bidang kesehatan, Mary E. Brunkow, karena ia mematahkan semua stigma itu.

Brunkow hanya memiliki 34 artikel yang terpublikasi dan H-index (index yang melihat seberapa banyak penelitiannya disitasi) hanya 21 saja. Ia juga tidak pernah nangkring di 2% peneliti top dunia yang kemarin sempat bikin geger dan bangga itu.

Soal sitasi memang sudah sering menjadi perdebatan, karena kita bisa sepakat bahwa karya yang bagus tidak selalu ditandai dengan sitasi yang ramai, sama seperti karya musik. 

Musik viral belum tentu bagus, dan yang tidak viral pasti lebih buruk. Ada banyak aspek dan elemen. 

Karena ketika kita berjualan di pasar yang ramai, kans untuk terjual memang besar. Kalau kita menjajakan lagu cinta, kans lakunya memang akan lebih tinggi dari pada jualan lagu tema kemanusiaan. 

Riset pun demikian, kalau bidang riset yang dijalani ada pada topik-topik populer, kans tersitasi juga tinggi, tapi kalau topik yang diusung tidak populer ya sitasi akan sepi. 

Belum lagi sitasi bisa “diakali”. Misal meminta mahasiswa mensitasi karya dosen.

Band Barasuara melalui lagu berjudul Etalase juga telah merekam isu sitasi ini “lebih terkenal (red. lebih banyak ekstasi) tak lebih baik, sudah terbukti banyak yg munafik (karena jumlah sitasi bisa di-request)”

***

Sehingga saat kita sebagai bangsa ingin terlibat dalam menentukan arah peradaban dunia, yg salah satu penghargaannya adalah nobel. Kita, sebagai bangsa, perlu memperbaiki cara berpikir dan tata kelola penelitian kita. 

Apakah kita punya kans? Ada. 

Saya kenal sedikit peneliti Indonesia yang punya spirit seperti para penerima nobel yang sudah saya paparkan, minimal ditandai dengan ogah-ogahannya mengurus kenaikan jabatan fungsional menjadi profesor. 

Indonesia punya orang-orang seperti itu. Tapi ya cuma satu-dua. 

Selebihnya ya yang matrealistis-oportunis saja. 

Yang mengejar tinggi-tinggian sinta skor, banyak-banyakan sitasi, panjang-panjangan gelar,  sampai yang panggilan hidupnya tidak sebagai dosen dan peneliti tapi maksa jadi dosen dan peneliti biar gak nganggur dan dapat status sosial saja.

Jadi, beranikah kita sebagai bangsa berubah?


0 comments