Sudah 3 tahun, sejak kang Ahmad pulang dari perantauan. Kata
ibuku, kang Ahmad selama ini menuntut ilmu di pondok. Kata ibuku juga, kang
Ahmad tergolong orang yang baik dan pintar. Kukenal juga di teman-teman
sebayanya, kang Ahmad terkenal berpengetahuan luas, sehingga maklum sekali kalau
saat ini kang Ahmad menjadi Imamuddin, atau biasa disebut Mudin, itu sebutan
untuk pemimpin agama di desa.
Pekerjaan kang Ahmad sebagai mudin, sama dengan mudin-mudin
yang lain. Di antaranya memimpin doa dan tahlil saat ada acara selametan
orang meninggal, tukang memberikan doa saat ada kondangan dan tukang mensalati
orang yang meninggal. Selain sebagai mudin, kang Ahmad setiap harinya
berprofesi sebagai petani dan istrinya berjualan di rumah untuk membantu
ekonomi keluarga. Kang Ahmad saat ini telah dikaruniai satu orang anak.
---
Sore ini langit menjadi gelap dan turun air dari langit. Terdengar
suara pengumuman dari masjid, ku dengar “Innalillahi wainna ilaihi rojiun,
telah meninggal bapak Munir, mari ta’ziah ke rumah duka”. Dalam hati aku
berbisik “Inalillah, ternyata yang meninggal pamanku”. Aku bergegas memberi
tahu ibu dan berangkat ta’ziah ke rumah paklik Munir. Paklik Munir memang sudah
sakit beberapa tahun ini, beliau mengidap penyakit jantung lemah.
Setelah ibu kuberitahu, kita berdua bergegas berangkat ke
rumah paklik Munir, dan kali ini aku mendapat pengalaman yang baru. Aku di
izinkan ibu ikut merawat jenazah dari mensalati sampai menguburkan jenazah,
mungkin ini karena aku yang sudah akil balik secara usia. Kesempatan ini aku
manfaatkan sebaik-baiknya, karena selama ini aku hanya praktik salat jenazah di
madrasah, kali ini aku melakukan salat jenazah sunguh-sunguh kepada paklik ku Munir.
Aku di mintak oleh Ibukku untuk ikut dengan cak Sobari memanggil kang Ahmad, mudin baru didesa kami. Sesampai
di rumah kang Ahmad, terlihat kang Ahmad memang sedang bersiap-siap mengenakan
sarung. Mungkin kang Ahmad juga mendengar pengumuman dari masjid, meskipun
jarak rumah kang Ahmad dari masjid desa kami cukup jauh, masjid kami berada di
selatan desa, sementara rumah kang Ahmad berada di utara desa.
Kemudian kami bersama kang Ahmad menuju ke rumah paklik Munir.
Sesampai di rumah duka, kang Ahmad mendatangi keluarga yang ditinggal. Beliau menanyakan
beberapa hal sebelum merawat jenazah.
“Bu Nur, apakah pak Munir memiliki harta yang diwariskan?” tanya
kang Ahmad pada bulek Nur
“ada kang, suami saya ada harta untuk diwariskan” bulek Nur
menjawab sigap
“lalu, apakah pak Munir memiliki hutang bu?” kang Ahmad kembali
bertanya menyambung pembicaraan.
“tidak punya kang” saut bulek Nur.
“kalau begitu mari mulai merawat jenazahnya pak Munir” kang Ahmad
mengambil kesimpulan, dan mengajak untuk memulai merawat jenazah.
Kang Ahmad memimpin para peziarah untuk merawat jenazah pak Munir,
dari memandikan, mengkafani, mensalati dan menguburkan. Aku hanya ikut mensalati
dan mengantar jenazah ke kuburan. Pada saat salat aku berada di barisan nomor
lima, dan sedikit mendengar apa yang diucap sebelum salat dan doa yang di
bacakan oleh kang Ahmad. Tapi tak apalah, ini cukup memberikan pengalaman
buatku untuk merawat jenazah.
Namun aku masih menyimpan pertanyaan, kenapa kang Ahmad perlu
bertanya kepada keluarga yang di tinggal soal hutang dan harta warisan.
---
Berjarak 5 minggu dari kematian paklik Munir, terdengar lagi
kabar kematian. Kali ini yang meninggal adalah tetanggaku sendiri, rumahnya
berjarak 4 rumah ke arah timur dari rumahku. Yang meninggal adalah pak Ibnu,
aku mengenal pak Ibnu adalah tetanggaku yang suka berniaga, dia sering
bergonta-ganti usaha. Ku dengar juga bahwa sudah sejak aku bayi beliau sering kali
menyumbang ke masjid setiap tahun.
Karena yang meninggal adalah tetanggaku sendiri, aku di minta
ibuku untuk ikut takziah ke rumah duka. Dan aku pun bergegas menuju rumah duka.
saat itu aku tidak ikut menjemput kang Ahmad, aku duduk-duduk di depan rumah
pak Ibnu saat kang Ahmad di jemput oleh keluarga duka. Saat kang Ahmad datang
aku bersalaman dengan beliau, dan ketika kang Ahmad masuk ke rumah duka,
terdengar kang Ahmad menanyakan hal yang sama kepada bu Ulfa, istri pak Ibnu. Pertanyaan
yang diberikan sama dengan apa yang ditanyakannya pada bulek Nur saat paklik Munir
meninggal. Sontak karena aku masih menyimpan pertanyaan dari yang ditanyakan kang
Ahmad itu, aku mendekat ke pintu rumah pak Ibnu, dan berusaha mendengar apa
yang di tanyakan kang Ahmad dan apa pula jawaban dari bu Ulfa.
“bu Ulfa, mohon maaf, apakah pak ibnu memiliki hutang?” kang Ahmad
bertanya pada bu Ulfa.
“ada kang, suami saya masih memiliki hutang ke temanya di
desa sana” bu Ulfa menjawab dengan lirih dan masih menangisi kepergian
suaminya.
“emm, begitu.. lalu apakah pak Ibnu memiliki harta yang
diwariskan Bu?” tanya lagi kang Ahmad dengan suara yang lebih halus pada bu Ulfa.
“Insaallah ada kang, suami saya punya simpanan uang
yang dapat diwariskan” bu Ulfa menjawab.
Kang Ahmad terlihat mengambil nafas panjang dan tersenyum,
nampaknya ingin menghibur bu Ulfa dan seraya berkata “ngeh pun bu, mari kita
mulai merawat jenazah pak Ibnu”
“enggeh kang” saut bu Ulfa.
Kemudian aku dan seluruh peziarah merawat jenazah pak ibnu. Namun
masih sama, aku hanya ikut mensalati dan mengantar jenazah ke kuburan.
Setelah pulang, aku pun masih belum mendapat jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan kang Ahmad. Saat paklikku tak punya hutang, beliau
mensalati, saat pak ibnu memiliki hutang, kang Ahmad juga mensalati, sebenarnya
apa maksudnya, kok kayaknya sama saja, dan memang sudah sewajarnya setiap mudin
bertugas memandikan sampai menguburkan setiap ada orang yang meninggal.
---
Sudah 2 bulan setelah kabar duka di kematian pak Ibnu, desaku
tak ada orang meninggal lagi, malah kabar yang terdengar adalah kabar-kabar
gembira. Kalau tidak salah ada 3 bayi yang baru lahir selama 2 bulan ini. Saat ini
pun sudah memasuki musim kemarau, sudah tak ada hujan setiap hari, seperti yang
terjadi saat kematian paklik Munir dan pak Ibnu, yang kematiannya di selimuti
langit hitam.
Saat ini setiap hari selalu di selimuti terik matahari yang
hangat, dan terlihat para petani juga banyak yang bercocok tanam pada buah
semangka. Buah semangka desaku saat kemarau seperti ini memang terkenal manis. banyak
petani yang mengubah ladangnya menjadi ladang semangka begitu juga kang Ahmad,
saat ini kang Ahmad tengah menggarap ladangnya yang beralih menjadi kebun semangka.
Saat aku pulang sekolah, siang ini cukup terik. Dan sesampai
di rumah aku mendengar pengumuman dari masjid. “Innalillahi wainna ilaihi
rojiun, telah meninggal dunia pak Burhan, mari ta’ziah ke rumah duka”. dalam
hati aku berkata “Innalilah, baru di omongkan tak ada orang meninggal, ini
langsung ada yang meninggal”. Namun saat ini aku sedang sendiri di rumah,
ibuku sedang ke rumah sakit menjenguk temanya yang sakit. Rumah orang yang
meninggal ini tak jauh dari rumahku, tetapi tidak tetangga-an denganku, rumahku
dengan rumah pak Burhan berjarak 2 gang, tetapi masih dalam satu RW.
Aku berniat ikut ta’ziah, karena memang sedang menganggur tak
ada kerjaan dan tugas, di rumah juga tak ada orang, dari pada waktu terbuang
sia-sia, aku ikut saja ta’ziah, kalau kata orang pondok ngalap barokah. Aku
segera mandi dan berangkat ke rumah pak burhan.
Sesampainya di rumah pak burhan sudah berkumpul tetangganya,
tetapi tak begitu banyak seperti saat kematian pak Ibnu, dalam pikirku “ini
kan siang, pantas kalau sedikit, banyak orang sedang bekerja”. Dan seperti
biasa, aku mencari tempat duduk di depan rumah duka saat keluarga menjemput
kang Ahmad, kali ini kang Ahmad cukup lama datangnya. Terdengar dari yang
menjemput, ternyata kang Ahmad awalnya sedang ada di ladang, sehingga lama
sampai rumah duka. tapi syukurlah kang Ahmad telah tiba dan masuk rumah. Dan seperti
biasa, sebelum masuk rumah duka, aku bersalam dengan kang Ahmad.
Dan seperti yang kuduga, kang Ahmad akan menanyakan hal yang
sama seperti yang ditanyakan pada bulek Nur dan bu Ulfa. Segera aku mendekat ke
pintu dan menguping pembicaraan kang Ahmad dengan keluarga yang di tinggal.
“mohon maaf bu Dian, apakah pak burhan memiliki harta
warisan?” kang Ahmad bertanya pada istri pak Burhan.
Sambil menangis bu Dian menjawab “tidak ada pak Ustad”
Kang Ahmad diam sejenak, lalu menanyakan pertanyaan yang
kedua “enggeh Bu, lalu saya mau tanyak lagi Bu, mohon maaf, apakah pak Burhan
memiliki hutang?”
Dalam sendu bu Dian menjawab dan terdengar suaranya semakin
lirih “punya Ustad, suami saya punya hutang untuk biaya merantau 2 tahun lalu”
Baru-baru ini terdengar kabar, ternyata pak burhan memang
baru pulang merantau, tetapi tertipu dengan usaha-usaha yang membuat kaya
secara instan.
Aku lanjut mendengarkan, dan aku melihat pak Ahmad nampak berpikir.
Lalu satu kata muncul dari mulut kang Ahmad “saya belum bisa mensalati pak Burhan
bu, maaf”
Bu Dian nampak kaget mendengar jawaban kang Ahmad, aku pun
sendiri tak percaya mendengar. Seorang kang Ahmad yang terkenal baik menolak
untuk mensalati jenazah hanya karena si jenazah memiliki hutang. Aku mulai
berprasangka buruk pada kang Ahmad, nampaknya dia tak sebaik yang kupikirkan
selama ini.
Namun saat prasangka burukku menguasai tubuh, aku melihat
kang Ahmad berdiri dari duduknya. Dan dia berkata dengan lembut “aku belum bisa
mensalati jenazahnya pak burhan sebelum hutangnya terbayar bu Dian, aku akan
melunasi hutangnya pak Burhan dulu, sebelum mensalatkan jenazah pak burhan”.
Dari jawaban kang Ahmad, sontak seisi ruangan tersebut
menangis menderu-deru. Dan bu Dian berterima kasih pada kang Ahmad.
Akupun hampir menetaskan air mata karena kebesaran hati kang Ahmad,
ternyata beliau bukan hanya orang baik, nampaknya dia adalah contoh orang yang
tak risau soal dunia yang hidup saat ini. Aku semakin mengagumi kang Ahmad atas
jawabannya ini.
Kang Ahmad keluar dan membayarkan hutang pak Burhan terlebih
dahulu, lalu kang Ahmad kembali dan memimpin peziarah merawat jenazah pak
burhan. Aku pun ikut mensalati dan
mengantar jenazah pak Burhan ke tempat istirahat untuk selamanya. Selepas itu
aku pulang dan masih menyimpan rasa kagumku pada sosok satu ini.
Terdengar kabar memang keluarga pak Burhan sedang tidak
memiliki tabungan sama sekali, sehingga saat kang Ahmad bilang tidak bisa mensalati
jenazah pak Burhan, pasti sangat menyakitkan untuk di dengar.
Aku semakin mengagumi mudin satu ini, karena kebesaran
hatinya, dan nampaknya kang Ahmad juga tak tipikal orang yang hanya beropini,
tetapi langsung memberi solusi dengan kerja aktif. Tak hanya memberikan jawaban
bisa mensalati atau tidak, tetapi langsung bertindak di garda depan apabila ada
suatu masalah, dan nampaknya beliau juga tak terlalu risau dengan harta, karena
kudengar ternyata hutang pak Burhan mencapai 2 juta. Itu nominal yang besar
menurutku, apalagi untuk kang Ahmad yang hanya mudin dan petani biasa.
Semoga kesehatan selalu dilimpahkan Tuhan pada kang Ahmad,
dan semoga kita semua dapat belajar dari beliau, menjadi insan yang tak hanya
pandai beropini dan menghukumi sesuatu, tetapi juga mencari solusi dan berperan
aktif pada suatu hal.
0 comments