Refleksi Ramadan #15

[Sumber: Dokumentasi Billy Setiadi]
Ternyata selain saat teraweh, kondisi jalanan yang paling sepi saat ramadan ini sebetulnya adalah saat buka puasa. Kemarin aku baru sadar ketika pas saat buka melintas di perempatan sibuk jogja, sepinya naudubilah, suwepi puuooolll. Ya meskipun ini sangat kuat dengan sumsi se, lawong baru sekali ini juga. Tapi kalau melihat gelagat hingar-bingar buka bareng di sosmed, kayaknya masuk akal juga. Karena yang lebih sering diupdate adalah buka barengnya, bukan salat bareng, teraweh bareng, tidur bareng, sampai sabar bareng.

La piye je, aku sudah menemukan ada teman yang merencanakan buka bersama sebelum ramadan itu datang. Ini kan jenis manusia yang amat sangat-sangat prepare. Puasa lo belom, sahur juga masih beberapa hari lagi, lakok wes mikir buka. Bukae bareng-bareng pula. Sunggu kita kaum komunal. Hahahaha

Yang kita butuhkan itu bukan semangat kumpul sebenarnya, tapi sedikit bumbu-bumbu individualis. Lawong berkumpul itu wes seakan jadi naluri, hehe, karena saat kita berkumpul dan berhimpun, ghibahlah ujungnya, dan itulah yang membahagiakan kita.

Dari serangkaian hingar-bingar ini, akhirnya aku sempat menjadi bagiannya. Tetapi bukan kumpulan untuk buka puasa bersama, tetapi untuk sahur bersama. Semakin spesial karena sahurnya bersama ibu Shinta Nuriyah. Ya ibu Shinta yang istrinya Gus Dur itu.

Ini sahur keduaku bersama dengan beliau, setelah yang pertama saat dulu menjadi maba tahun 2011.

***

Dulu sempat dijelaskan, kenapa bu Shinta ngajaknya sahur bersama, kok bukan buka bersama yang lebih usum itu ya. Tapi tak ingat-ingat jawabane masih belom ketemu.

Apa karena sahur sebagai simbol mulai ritual puasa ya. Kita memulai dengar berkumpul yang baik, niat puasa yang baik, memulai perjuangan melawan hawa nafsu bersama dengan baik-baik. Kan kalau buka itu simbol berakhirnya perjuangan menahan hawa nafsu, seremonial lah, merayakan juara lah kalau di liga sepak bola.

Jadi bu Shinta lebih mementingkan latihan sebelum bertanding dari pada perayaan juara. Mungkin gitu ya, tapi mbuh lah, iki sek gatuk-gatukanku dewe.

Tapi gatuk-gatukanku kok ya keren juga ya. Terlihat cukup masuk akal falsafahnya dan romantis. hehe

***

Semalam, Bu Shinta mendahului pembicaraan dengan ngabsen hadirin. Ditanya dari asal, suku, sampai agama. Eh dilalah kok sangat beragam sekali. Dari Aceh sampek Papua dilalah ada semua. Dari seluruh agama yang terhimpun di Indonesia juga ada, sampek bahai lo ada. Terus bu Shinta ngelanjutin dengan seruan “kita semua sodara ndak?”, “sodara, bu” sambung hadirin, “kalau gitu, boleh ndak kita cakar-cakaran? Sikut –sikutan?”. “Ndak, bu” jawab hadirin. “Kalau rebutan kursi, boleh ndak?” tanya bu Shinta lagi. “Ndak bu” sebagian hadirin menjawab. “Lo, kok ndak boleh, la kan kemarin sudah rebutan kursi”. Disambut kekeh hadirin. Bu Shinta melanjutkan “yang gak boleh itu kalau rebutan kursinya tidak sesuai konstitusi, jadi harus tetap baik-baik rebutannya”

Lalu, bu Shinta ngajaki kita untuk merefleksikan makna puasa, lakok dilalah yang kuenceng jawabe malah temen dari katolik, “menahan hawa nafsu, buk” pekiknya. Lalu bu Shinta melanjutkan dengan menjelaskan refleksi apa saja yang bisa kita lakukan saat puasa.

***

Sehingga memang kalau jawaban perkiraanku tadi benar, yang soal kenapa bu Shinta ngajaknya sahur bersama, ndak buka bersama, narasinya jadi gini “kita memulai latihan dengan merefleksi apa tujuan kita berpuasa dengan bersama-sama. Bahwa makna luhur dari puasa selain hanya menahan haus dan lapar adalah menahan hawa nafsu kita merajalela di hidup dan menguasai hidup. Kita juga dituntut untuk sabar, jujur, mudah memaafkan di saat puasa. Kita latihan bareng, puasa bareng, berjuang bareng dan semoga bisa sukses juga bareng”

Selamat berpuasa :)

0 comments