Refleksi Ramadan #21

[Sumber: ramadan.tempo.co]
Semalam adalah malam 21 ramadan, alias sudah masuk 10 terakhir dan pas di malam ganjil. Banyak sekali yang meriwayatkan bahwa kemungkinan besar lailatul qadr turun saat malam ganjil sepuluh terakhir, sehingga dari sana banyak sekali yang berusaha menambah ibadah agar malam-malam yang berkemungkinan lailatul qard tidak berlalu dengan sia-sia.

Sejak dulu, di musholah dan masjid desa selalu mengadakan khataman Alquran pada malam-malam ganjil sepulut terakhir, sehingga yang selama ini tadarus biasanya dilakukan sendiri-sendiri, pada malam-malam ini dilakukan bersama dan tentu akan menghabiskan Alquran lebih banyak.

Ada dua hal menarik yang bisa kita bicarakan dari kebiasaan orang-orang desa ini; 1. Berjamaan dan 2. Membaca Alquran.

***

Seperti yang aku sebutkan di awal, bahwa orang-orang desa tadi sudah tadarus sendiri-sendiri setiap malam ramadan, tetapi khusus pada malam ganjil 10 terakhir, warga melakukan baca quran jamaah. Ini sungguh kental sekali dengan nuansa komunal yang sangat khas dari masarakat pedesaan. Apalagi juga kita tahu bahwa banyak sekali kegiatan komunal warga desa yang tidak memakai surat undangan lagi, tetapi sudah mentradisi, dan sekali-kali hanya perlu diumumkan lewat TOA mushola.

Kegiatan komunal warga desa tidak hanya sesuatu yang bersifat materil/dhohiriyah semisal membangun rumah, menjenguk orang sakit, sampai membela desa di pertandingan sepak bola, tetapi sampai ke urusan non-materil/batiniyah. Solat berjamaah di desa malah menjadi sebuah gandengan dari solat wajib. Yang namanya wajib itu ya jamaah, kira-kira seperti itu. Malah kalau ada warga yang tidak datang jamaah, dia akan dicari sama temen-temen yang lain, dikira sedang bepergian atau sakit.

Apalagi untuk mushola dan masjid yang terafiliasi ke ormas NU, kegiatan ibadah berlanjut sampai ke wirid bersama dan diakhiri dengan doa. Adalagi pembacaan yasin, tahlil dan istighosah yang sudah pasti jamaah, malah kadang-kadang masih ada jamaah tahlil di luar jamaah musholah, jadi semisal pas malam jumat, orang-orang desa bisa baca yasin, tahlil dan istighosah 2 kali, satu di mushola/masjid, satu di jamaahnya sendiri-sendiri yang digilir ke rumah-rumah.

Sehingga masjid menjadi tempat yang sangat sentral di desa, karena masjid menjadi tempat berkumpul manusia selain yang dilakukan di luar ibadah. Bahkan di desa, masjid lebih besar peranannya dari pada balai desa, karena balai desa hanya menyediakan ruang formalistik belaka, semisal pendaftaran kepala desa, selebihnya dilakukan di masjid, lawong pengumuman mengairi sawah ya dilakukan di masjid.

Dan pada malam ganjil 10 terakhir ramadan, khataman Alquran dilakukan bergilir dari satu mushola ke mushola lain, diatur oleh remas masjid. Kegiatan khataman Alquran keliling ditutup di masjid besar, yang bertepatan pada malam 29 ramadan.

***

Hal lain yang bisa dibahas dalam memenuhi malam ganjil 10 terakhir versi orang-orang desa adalah membaca Alquran. Tentu menarik sekali, bahwa dari serangkaian ibadah yang bisa dilakukan, kenapa membaca Alquran adalah yang dipilih. Tentu ini akan berhubungan tentang malam nuzulul quran yang juga turun di bulan ramadan dan saat itu adalah malam lailatul qadr, sehingga hubungan antara Alquran dan lailatul qadr itu sangat erat.

Selain itu, biasanya dalam setiap tadarus Alquran, ada seorang imam mushola/masjid yang memberikan refleksi tentang Alquran pada jamaah, sehingga jamaah tidak hanya membaca Alquran saja, tetapi juga mendapat refleksi dari secuplik apa yang dibaca. Tentu hal ini dilakukan untuk menguatkan dan membangkitkan semangat berislam. Hal ini karena tipikal manusia desa berislam selalu memilih satu orang yang dapat menjadi rujukan dalam masalah keagamaan, bisasanya adalah imam masjid.

Tidak semua orang desa mengerti urusan makna dan meneladani Alquran, mereka menyerahkan pada satu otiritas yang terpercaya. Jadi atmosfer yang terbentuk pun ndak yang diluk-diluk minta dalil, karena islam yang mereka pahami sudah bergabung dalam laku keseharian, tidak kaku nan formalistik. Tidak ada orang kemaki yang merasa tahu segalanya karena membaca rangkuman Alquran dari internet. Yang dinilai bukanlah seberapa banyak kamu tahu, tapi sebenarap kebermanfaatanmu untuk masyarakat.

Kamu bisa hafal Alquran dan setiap ditanya dalil bisa menjawan, tetapi kalau hal itu tidak membuatmu punya akhlak yang baik, semisal ikut angkat-angat kayu saat ada yang pindahan rumah, Alquran yang dihapal tidak jadi berguna.

Sehingga beragama di desa lebih selow dan tidak formalistik ya karena nilai-nilai agama menyatu menjadi laku kehidupan. Tidak dihadirkan dalam pertanyaan-pertanyaan yang kaku.

Ya itulah kehidupan di desa.

Bisa dibayangkau kalau nilai Islam yang terkandung dalam Alquran dilakukan dengan berjamaah,  bagaimana sejuknya hidup di desa.

Salam, selamat menikmati ramadan :)

0 comments